IMPIANKU
Hidup
ini begitu sulit aku rasakan, dan tak sebegitu mudah kubayangkan. Hanya
berbekal kepandaian dalam prestasi pun tak cukup, karna hidup selalu mencari
dan terus mencari bahkan yang lebih dari cukup. Meskipun aku hanyalah sesosok
yang tak pantas untuk dipandang, namun aku tetap berusaha sekuat tenaga untuk
memaksa mereka agar mau memandangku. Bukan berarti karena aku hanyalah anak
dari seorang petani dan penjual sayur lalu mereka dapat dengan entengya
meremehkanku. Maka dari itu aku berusaha keras agar mereka mau untuk memandang
dan juga membanggakan ku sebagai siapa aku bagi mereka, itupun tak mudah banyak
hal yang aku lalui bahkan rintangan yang menghalangi langkah ku pun kunjung
datang silir berganti.
Bukan
hanya itu, terkadang akupun tak menyadarinya bahwa sikap perilaku dan tingkah
laku ku pun ikut menjadi kunci kesuksesanku. Lalai sekejap dari hal itu,
impianku pun dengan gampangya akan musnah. Memang usahaku di awal tahun ajaran
baru ini berhasil. Aku berhasil mendapat bantuan biaya masuk ke sebuah SMA
favorit di kotaku. Itu semua karena kepandaian otakku, tanpa kerja keras
mustahil bila aku yang hanya anak seorang petani dan penjual sayur dapat
bersekolah di SMA seelite itu. Sehari seusai pengumuman penerimaan murid baru
aku bergegas melakukan daftar ulang, setelah itu aku pulang dengan perasaan
bahagia. Tak kusangka pula ternyata saat aku sampai di depan rumah aku telah di
sambut oleh seseorang yang ingin ku anggap bahwa dirinya sepesial.
“Mas
selamat ya kamu bisa masuk sekolah yang kamu inginkan.” Ucap Dea tetanggaku
yang selalu menemani ibuku ketika aku sedang tidak dirumah.
“Iya
Dek, makasih ya.” Aku tau bila dia menyimpan rasa pada ku maka dari itu dia
selalu berusaha merebut perhatian ibuku. Tapi entah kenapa hal itu sama sekali
tidak menarik perhatianku padanya.
“Iya
mas, sama-sama.”
Lalu
aku masuk kedalam rumah menemui ibuku.
“Ibu,
ibu.. terimakasih ibu! Doa ibu terkabul. Aku berhasil masuk ke SMA yang aku
inginkan sejak dulu.”
“Iya
anakku, ibu yakin kamu dapat meraih apa yang kamu inginkan asal kamu
bersungguh-sungguh nak.” Hal itu dikatakan ibuku sehari setelah aku diterima di
sekolah favorit ini, namun naasnya sekarang aku mulai tergoda oleh dunia yang
memang disediakan untuk menggoda siapa saja di jaman modern ini. Bagaimana tidak,
aku mulai lalai akan nasehat-nasehat ibuku. Bahkan didikan ayahku yang keraspun
selalu aku abaikan, entah apa yang membuat aku begini. Tetapi jujur aku akui,
aku menjadi sedikit sombong dihadapan teman-temanku. Aku berfikir mereka pasti
tau jika aku adalah seorang anak yang pandai, karena bila di nalar jika tidak
pandai mana mungkin aku orang yang miskin dapat bersekolah di SMA berkelas
seperti ini. Dan ya, dengan kesombonganku pula aku bergaul dengan anak-anak
konglomerat yang mungkin hanya mengandalkan harta orangtuanya saja. Bagiku nggak
ada salahnya toh terkadang aku juga mendapat untungnya, ya banyangkan saja jika
berteman dengan orang-orang kaya apalagi mereka menganggap uang itu bagaikan
kertas yang sehari-hari mereka pegang.
“Hey
sob, keluar yuk cari makan.” Ucap Gilang salah satu teman konglomeratku. Ya
kami berlima memang sudah akrab sejak masuk SMA, aku, Gilang, Dares, Krisna dan
satu lagi Juna anak dari salah satu guru di Sma ini.
“Ayok,
gua mah jalan aja asal ada yang bayarin.” Sahut Dares.
“Wah,
elu Res. Kaya-kaya pelit, sekali-kali elo kek yang bayarin.” Ucap Krisna.
“Masalahnya
bro, gue lagi bokek nih. Lagi gak ada duit.” Sahut Dares lagi.
“Ah,
mau kemana sih kalian. Kan masih ada 2 jam pelajaran, malah kelasku jamnya fisika aku
nggak barni ninggalin gitu aja.” Ucapku.
“Ah
elo tuh Nand, pelajaran mulu. Nggak asik ah.” Ucap Gilang.
“Udah-udah,
ayo keluar biar gue yang bayarin.” Sahut Juna yang memang paling kaya di antara
4 temanku yang konglomerat tadi. Dan tanpa berfikir panjang aku mengiyakan
ajakan mereka.
Sejak
saat itu aku mulai lupa dengan keinginanku untuk memaksa mereka agar dapat
memandangku, aku pikir dengan kepandaianku aku dapat menaklukkan mereka.Hingga
Rasti teman ku sejak SMP pun tak luput menasehatiku.
“Nand,
aku perhatiin sejak masuk SMA kamu banyak perubahan ya?” ucapnya.
“hmm,,
perubahan apa? Aku tambah cakep ya! Haha.” Aku malah menjawabnya dengan
gurauan.
“Dinand,
aku serius. Kamu berubah, sadar nggak kamu?”
“Aku
dua rius malahan, hahaha.”
“Ih,
kamu ya nyebelin banget. Awas aja ntar kalo kamu ngrasain akibatnya aku nggak
mau tau.” Lalu Rasti begitu saja
menghilang dari hadapanku tanpa pamit.
perlahan aku mulai berubah perlahan pula aku
berani untuk menyukai seseorang, namun seseorang itu sebenarnya sudah aku
taksir sejak awal masuk SMA, ya dia Ana lebih tebpatnya kak Ana karena dia
adalah kakak kelasku di SMA. Memang agak gila bila dipandang seorang laki-laki
kelas X menyukai kakak kelasnya yang beda 2 tahun yaitu kelas XII. Tapi apa
boleh buat, dia menarik perhatianku sejak ia membimbing kelasku saat MOS.
Hingga sekarang aku tidak dapat melupakanya. Suatu hari aku merasa sangat
gembira karena aku dapat berkenalan denganya melalui temanku Rizal, yang tak
lain ialah teman sekelas Ana.
“Dinand,
tunggu.” Teriak Rizal. Begitu aku menengok ke arahnya, ternyata ia menggandeng
seorang gadis pujaanku Ana.
“Eh,
Kamu Zal. Ada apa?” Rizal dan Ana menghampiriku.
“Katanya
kemarin mau dikenalin ama nih cewek! Hhmmm sok jaim ah lo!”
“Eh
kamu, jangan jujur-jujur kali.” Ucapku agak malu.
“Ya
udah kalian berdua kenalan dulu, aku mau pulang. Ok!!”
“Lo..lo..
Zal...” belum selesai aku bicara Rizal main pulang aja. Disitu sempet aku
ngerasa canggung, begitu juga Ana. Pipinya terlihat merah dan ditambah jilbab
yang menutupi sebagian pipinya menambah pesona anggun pada dirinya. Cantiknya
begitu natural. Kuberanikan diri untuk mengulurkan tangan dan berkenalan.
“Hai
kak Ana, aku Dinand anak X.2.”
“Jangan
panggil kak dong, kesanya aku tua banget.” Jawabnya smbil malu-malu.
“hmm,
iya deh Ana.”
“nah
gitu lebih enak.”
“emm,,
kamu pulang sama siapa Ana?”
“
aku dijemput.”
“
aku anter aja yuk.”
“
eh, nggak usah.”
“nggak
apa-apa, ayoo.!”
“Beneran
deh nggak usah, aku nggak boleh ama papahku kalo pulang dianter cowok.”
“hah?
Jadi selama ini nggak pernah dianter pulang ama cowok.?”
“belum
Nand, bahkan bergaul aja aku nggak dibolehin,”
“Terus
kalo pacaran?”
“Backstreet.”
mendengar ucapanya itu aku merasa agak minder, namun tak apalah jalani saja
dulu. Tak lama kemudian kitapun jadian,meskipun harus backstreet tp bertahan
lumayan lama. Namun kebarasilanku dalam asmara berbeda dengan prestasiku di
akir semester 1 ini. Nilaiku turun drastis, aku bingun jika ibuku kecewa dengan
semua ini.
“Hey
sob, kenapa nglamun aja.” Sapa Dares, salah satu anak konglomerat yang menjadi
teman pergaulanku yang sekaligus merubah pola hidupku.
“hmm,
aku bingung nih mau bilang apa ke ibuku.” Jawabku
“masalah
apa? Nilai? Alah lo tu ya, nilai aja dipikirin.” Ucap Gilang.
“Hidup
dibuat santei aja sob, nikmati aja lah, apa lagi sekarang ada Ana yang dampingin
lo.” Tambah Krisna.
“Bilang aja ke nyokap lo kalo memang sekolah
itu susah jadi buat apa dibikin susah.. hahahaha”ucap Juna.tak tau kenapa
begitu mereka semua menghampiriku di kelasku aku merasa kesal. ditambah
perkataan-perkataan yang tak ingin aku dengarkan yang sengaja dilontarkan
mereka.”Braaak”, dan aku muak dengan omongan mereka dan tak kuasa aku menahan
kedua tanganku untuk menggebrak meja yang sedang di duduki Dares.
“Jangan
sembarangan ya kalian kalo ngomong, aku nggak suka. Iya kalian , anaknya
konglomerat sedangkan aku? Tanpa Otakku ini aku nggak bisa dapetin keinginanku
untuk sekolah disini. Kamu gampang hanya mengandalkan uang apapun bisa.Nah
aku?? Apa aku harus memaksa orangtuaku agar bisa melakukan apapun yang aku
minta?? Aku nggak setega itu.Dan kusus buat kamu Juna, aku nggak seberuntung
kamu yang jadi anak dari salah satu seorang guru disini yang bisa menyombongkan
diri dan bahkan tanpa belajarpun nilai kamu bisa bagus..”
“ma..
maksudku nggak gitu Nand.” Dares agak takut karena aku membentak mereka semua.”
“terus
apa?? Kalian semua dengerin ya , memang benar kalian punya uang dan bisa kamu gunain
buat apapun itu, tapi aku hanya punya orang tua. Tanpa beliau aku nggak akan
hidup di dunia ini.” Mereka hanya diam dan menunduk. Kecuali si Juna, ia nampak
nggak terima aku bersikap seperti itu padanya.
“Alah, nggak ada untungnya aku berteman sama kalian
semua. Sama kamu, kamu, kamu dan kamu.” Aku arahkan telunjukku ke arah
anak-anak konglomerat itu satu per satu. Lalu aku bergegas keluar dari kelas
yang suasananya mulai memanas, bahkan tanpa menghirauakan Ana yang ternyata
sejak tadi memperhatikanku di dekat pintu masuk kelasku. Aku abaikan dia dan segera
aku mencari tempat yang tenang. Ya, tempat itu di taman samping sekolahku.
Disana
terlihat ada bangku kosong sebagian, dan sebagian lagi sudah ada yang
menempati, yaitu seorang cewek entah siapa itu aku tidak memikirkan. Setelah
aku meletakkan pantatku, aku masih terbawa emosi di kels tadi. Aku
ngomel-ngomel dengan sendirinya tanpa tau siapa yamg mau mendengarkan omelanku.
Tiba-tiba ada seseorang yang mengulurkan sebotol air minum, ya yang memberiku
air ialah cewek yang tadi duduk di sebelahku yang tak lain ialah Frinda teman
sekelasku sendiri. Mungkin ia tak tahan dengan omelanku dan bergegas memberiku
minum agar aku bisa tenang.
“Nih
ada air, minum dulu Nand! mungkin sehabis minum kamu bisa tenang.” Ucapnya
“oh,
iya , makasih Nda.”
“Kamu
kenapa kok keliatan emosi banget selain itu aku ngliat terselip rasa kekecewaan
di wajah kamu.”
“Iya
nih aku kecewa ama nilaiku.”
“ngapain
kecewa? Kan yang nentuin nilai kamu sebenernya kamu sendiri Nand.”
“Iya
aku tau , aku bnyak berubah akir-akir ini. Maka dari itu aku pengen berusaha
memprbaikinya.”
“Nah
itu dah ada kemauan, kenapa bingung?”
“Aku
bingung Nda, gimana caranya nyampein ini semua ke Ortuku.”
“emm,
mending kamu ngomong dulu aja apa adanya mumpung raportnya belum dibagi nih.
Terus kamu juga harus janji ke mereka kalo kamu akan berusaha lagi. Persis
kayak dulu waktu kamu masuk SMA.”
“Loh
kamu kok tau kalo aku masuk SMA penuh dengan perjuangan.”
“Ya
tau lah,, anak-anak juga pada tau kok. Lagian peringkat umum waktu pndaftaran
dulu aku berada persis di bawah peringkatmu kok Nand.” Melihat dia berbicara
seperti itu aku langsung berfikir bhwa dia juga tak kalah pintar dengan ku.
Lalu aku tak lupa mengikuti saranya untuk berkata apa adanya pada kedua ortuku.
Hingga waktu raport dibagikan pun tiba. Aku menanti kedatangan ayah yang sedang
mengambil raportku dengan perasaan was-was. Begitu ayahku datang aku hanya bisa
diam,
“Apa
ini?” ayahku melemparkan Raportku pas ke depan muka ku.
“Maaf
yah, aku mengakui hasilku kali ini memang tidak maksimal.” Aku hanya menunduk.
“Alaah,
kamu itu bisanya alasan, alasan dan alasan.”
“Tapi
yah, aku janji aku akan memperbaikinya di semester depan.”
“Kamu
tidak memikirkan kedua orang tuamu yang membanting tulang untuk kamu.? Memang
benar uang sekolah kamu gratis, tapi apa kamu lupa kamu ke sekolah juga butuh
uang saku?” aku hanya terdiam. “kasihanilah Dinand, kasihanilah kedua
orangtuamu ini. Yang bekerja keras panas-panasan bekerja di sawah orang dan ibu
kamu yang setiap hari merelakan kakinya untuk mengayuh sepeda keliling kampung
untuk menjual sayur. Itu demi siapa? Ya demi kamu Nand anak semata wayang
kami.”
“Dengarkan
nasehat ayahmu dinand.” Ibuku ikut bicara.
“Biarkan
saja bu, dia sudah termakan rayuan-rayuan dunia luar. Biar dia rasakan apa yang
dia alami sekarang. Menyesal kan kamu. Haa??” ayahku lalu keluar rumah dengan
membawa amarah yang sebenarnya belum selesei ia sampaikan padaku. Karena ia tau
jika ia terus memarahiku akan membuat kegaduhan di rumah sederhanaku itu jadi
ia memutuskan hilang dari hadapanku. Namun ibu masih ada dismpingku.
“Dinand,
kamu tau kan nak tanpa kepandaian otak kamu kamu tidak akan bersekolah disana.
Jadi gunakan kesempatan itu nak. Ibu heran sebenarya apa yang membuat kamu
berubah seperti ini.?” Tanpa menjawap sepatah katapun aku meninggalkan ibuku
dan langsung masuk ke kamar. Meski aku tau itu agak tidak sopan, namun dari
pada aku menjawap dan membentak ibuku aku memilih lari dari hadapanya. Kurasa
akan lebih baik dibanding aku hrus mlihat ibu sedih karena aku telah
membentaknya.
“Sabar
ya bu, mungkin Dinand sedang nggak pengen di ganggu.” Bujuk Dea pada ibuku. Dan
ibuku hanya bisa terdiam melihat kelakuanku.
***
Raport telah dibagikan dua minngu yang lau , itu artinya
liburan pun telah usai. Sama seperti asmaraku dengan Ana yang telah usai di
minggu lalu. Meski aku tau Ana nggak salah dalam hal ini namun aku berfikir dia
adalah orang yang membuat aku sendiri yang salah dalam hal ini. Karena dia,membuat
aku terlalu bahagia dan melalaikan tugas-tugasku sebagai pelajar. Begitu pula
dengan teman-teman konglomeratku, aku memutuskan untuk menghindar dari mereka
dan tidak lagi bergaul dengan mereka. awalnya sulit namun kerena mereka
berbeda-beda kelas denganku lambat laun terhindar juga aku dari mereka. beda
dengan Frinda teman sekelasku, aku malah semakin dekat denganya.namun hanya
sebatas patner dalam belajar, karena dia juga pintar buat apa aku sia-siakan
kesempatan untuk kerja sama denganya. Setiap tugas yang sulit kita pecahkan
bersama bahkan dalam kelas pun aku menjadi teman sebangkunya karena kebetulan
si Bila yang dulu teman sebangku Frinda sekarang pindah ke luar kota jadi tak
ada salahnya ku mendekatinya.
“Nda,,, tunggu.” Panggilku
“Iya, ada apa Nand.” Ucap nya.
“Besok kan ada ulangan B.inggris, gimana kalo ntar aku
kerumah mu kita belajar bareng. Sekalian ngerjain Tugasnya bu Ika.”
“Ow, tugas matematika. Wah aku dah kelar tuh.”
“ya nggak papa. Kamu ajarin aku.”
“Oke, ntar jam 4 aku tunggu dirumah.”
“Oke sip.” Mendengar jawapan Frinda aku tersenyum
bahagia, entah kenapa. Selalu aku ingin balejar denganya. Aku merasakan nyaman
ketika bersamanya, entah itu nyaman dalam hal apa aku pun juga tidak tahu.
Tak sabar untuk segera pergi ke rumah Frinda, sebelum jam
4 pun aku sudah stand by di depan pintu gerbang rumahnya. Dan ternyata Frinda
pun juga baru pulang dari rumah sakit mengantarkan neneknya terapi. Waah,,
begitu patuhnya anak ini kepada orang yang lebih tua. Beberapa saat kemudian
aku dipersilahkan masuk dan duduk di kursi yang sudah disediakan. Lalu dia
memberiku segelas sirup dingin yang ia buat sendiri, meski ia punya pembantu
tapi dia tidak mau merepotkan orang lain. Jadi selama ia bisa pasti ai lakukan.
“Loh, Nda kok kamu yang nyiapin minum? Mbok sumi kemana.”
“Ada didapur. Lagian aku sendiri bisa kok ngapain nyuruh
si mbok. Ngrepotin beliau aja.”
“Wah aku salut ama kamu Nda, tadi juga, aku nggak nyangka
kamu mau nganterin nenek kamu ke rumah skit.”
“Loh, ngapain juga aku nggak mau nenek nenek ku sendiri
kok, terus siapa yamg mau nganterin? cucunya ada masak mau nyuruh cucu orang
lain.”
“Iya.. iya. Aku bangga punya teman kayak kamu Nda.”
“Udah-udah cepetan dikerjain terus kita belajar.”
“Oke, siap boss Frinda.”
***
Keesokan harinya ulangn B.ing pun dilaksanakan, begitu
menghadap soal aku tidak merasakan kesulitan sama sekali. Aku yakin hasil ku
kali ini pasti maksimal.
“Ok anak-anak waktunya habis, jadi berikan lembar jawaban
kalian pada ibu sekarang.!”
“iya bu.”
Aku percaya jika nilaiku
bisa naik perlahan-lahan, berkat bantuan Frinda.
“Hey, Nand gimana. Sukses ngerjainya?”
“hmmm,, lumayan sukses. Eh Nda, gimana kalo kita bikin
perjanjian.”
“ha? Apaan.”
“Yang nilainya lebih tinggi dpet makan gratis.”
“Oke siap pak boss.” Karena aku merasa nilaiku lebih
unggul aku berani menantangya walaupun aku lagi nggak ada uang. Pulang sekolah
Aku pulang bersama Rasti yang kebetulan rumahnya searah denganku.
“ makasih ya Tebenganya!” ucap Rasti
“Iya Ras, sama-sama.” Sahutku.
“Eh
Nand, disemester 2 ini kamu mulai jadi diri sendiri lagi ya. Kamu kaya Dinand
yang dulu aku kenal.”
“Aku sadar Ras, sikap ku waktu itu salah. Maka dari itu
aku mau memperbaikinya.”
“Tapi bukan karena nggak ada alasan kan.”
“Emm,, ya aku pengen sukses aja Ras.”
“Tapi kalo aku liat ada alasan lain deh Nand.”
“Ha? Apa?”
“Frinda, kamu berubah sejak dekat ama dia.”
“ mungkin karena dia juga pintar jadi bisa ngajarin aku.”
“ow gitu,, tapi awas lo jangan sempek jatuh cinta. Haha.”
“eh
kamu tu ngomong apa lo?”
“Udah ah. Aku masuk dulu. Kamu hati-hati!”
“Iya Ras, aku pulang dulu.”
Seminggu kemudian hasil ulanganku dibagikan, dan
hasilnya......
“Yesss, nilaiku 90.” Ucap Frinda pada ku. sementara aku
tidak kaget mendengar ucapanya karena aku dapat nilai diatasnya.
“waah,, selamat ya kamu dapet 90. Tapi maaf ya soalnya
aku 95.” Kutunjukan kertasku padanya.
“Loohh,, Dinand!” Frinda cemberut.
“Haha ye ye ye aku dapet makaan.”
“Oke oke mau makan apa?”
“emm apa ya,,, yang mahal ah.” Aku berlari
“lo. Eh eh Dinand.” Dia mengejarku, lalu kita berdua
kejar kejaran di kelas hingga keberadaan bu Sita guru B.ingrrisku pun kami
hiraukan.
“Dinand, Frinda!! Apa yang kalian lakukan.” Bentak
Beliau. Kami langsung berhenti dan diam tertunduk.
“Maaf bu.” Ucap kami.
“Kalian tidak punya rasa hormat ya? Tidak menghargai
disini ada saya,guru kalia.” Aku dan Frinda tak menjawab sepatah kata pun.
“ Jangan karena nilai kalian bagus kalian bisa seenaknya.
Sekarang kalian keluar, kalian ibu hukum membersihkan toilet.” Kami terkejut
harus membersihkan toilet yang kotornya minta ampun. Namun apa boleh buat,
memang salah kita jadi hukuman harus iklas kita lakukan.
Tak terasa, semester 2 sudah usai dan hasilnya begitu
membanggakan. Meski rangkingku tidak
pada urutan pertama namun aku bahagia setidaknya usaha ku berhasil walau hanya
berada di urutan ke 2. Dan lebih bahagia lagi tidak perlu kecewa karena yang
mndapat rangking 1 ialah Frinda patner belajarku sendiri. Aku rela saja jika
yang mendapat urutan pertama dia karena aku fikir dia yang membuatku melakukan
hal benar hingga aku berhasil seperti ini. naik ke kelas XI mulai diadakan
penjurusan. Aku dan Frinda berhasil masuk ke jurusan ipa.Namun naasnya, kita
berdua tidak mendapatkan 1 kelas yang sama. Awalnya kupikir biasa dan baik-baik
saja, namun lama kelamaan aku merasakan ada yang berbeda. Ya ternyata dikelas
yang baru aku tidak merasakan kenyamanan yang dulu ada di kelas X. Ketiadaan
Frinda di sampingku menjadi faktor utama, ada apa denganku ini. Aku tau jika
aku nyaman denganya, tapi apa mungkin aku jatuh cinta denganya? Kenapa baru
terfikirkan sekarang.”Bgitu bodohnya kamu Dinand” ucapku dalam hati.
Keesokan harinya aku berniat menyatakan semuanya pada
Frinda, namun entah kenapa keberanianku hilang, aku takut jika dia mengira aku
hanya akan menyakitinya sama persis yang dialami Ana dulu, karena aku
memutusnya dengan alasan tidak jelas . Mentalku menciut apa lagi setelah
mengetahui dia dekat dengan laki-laki tampan dan kaya teman sekelasnya sekarang
Vicky namanya. Berhari-hari berlarut mentalku tak kunjung bertambah hingga 1
bulan kemudianVicky mengatakan ingin mnjadi pacarnya dan yang membuat sakit
hati si Frinda menerima Vicky menjadi pacarnya. Lalu mereka pun berpacaran, hal
itu sangat memuakkan. Namun mau apa lagi, aku tidak berhak menyalahkan siapa
saja. Kenapa juga aku muak, itu kan salah ku sendiri. Knpa aku baru
menyadarinya sekarang kalau aku menyukai Frinda dan kenapa waktu mereka belum
jadian aku tidak bergegas menyatakan itu pada Frinda. Memang semua itu hanyalah
salahku semata.
Tidak mau larut dalam hal itu, aku ingin bangkit meski
tanpa Frinda. Aku ingin sukses di dua tahun sebelum aku lulus ini. Akirnya
seperti yang aku harapkan di kelas XI berturut-turut aku mendapat rangking 1,
begitu bangganya kedua orang tuaku dan ditambah lagi di tahun kelulusanku ini
aku mendapatkan Kesempatan kuliah gratis di universitas yang aku inginkan
melalui jalur bidik misi. Aku pun bangga pada diriku ini karena berkat kerja
keras ku aku berhasil mencapai keinginanku dan misi selanjutnya ialah mencapai
cita-cita ku mencari gelar S2 dan menjadi dosen di universutas yang aku
inginkan. Berbeda dengan ke empat mantan teman konglomerat ku dulu, hasil ujian
mereka sangat memalukan. Namun nggak ada efeknya bagi mereka toh mereka sekolah
bukan mengandalkan otak namun hanya mengandalkan uang.
“Gimana Nand? Kamu bangga kan bisa jadi dirimu sendiri?”
ucap Rasti.
“Iya, Ras. Makasih ya nasehat kamu selama ini. Kamu emang
salah satu temenku yang terbaik.” Sahutku.
“ya udah aku mau nemuin anak-anak lainya dulu.”
“oke siip.” Rasti pergi dari hadapanku dan nggak
kusangka,,,,,
“Nand, selamat ya.” Ucap Frinda yang tiba-tiba
menghampiriku.
“Eh iya Nda, kamu juga selamat ya kan yang dapet nem
tertinggi di sekolah ini kamu bahkan sekabupaten lo Nda.”
“Hmm iya Nand , makasih. Kamu mau kuliah kemana?”
“Emm,, aku pingin ke bandung Nda. Kalau kamu?”
“ aku deket-deket aja, Di Malang.”
“Wah beda arah ya Nda.”
“iya Nand.”
Belum selesei aku dan
dia bicara, Vicky memanggil Frinda dan mengajak foto dengan teman-temanya untuk
kenang-kenangan.
“Frin, ayo kita kesana. Temen-temen ngajakin foto buat
kenang-kenangan.”
“Oh iya Vick, sebentar. Nand aku tinggal dulu ya, aku
ikut Vicky dulu.”
“O.. iya Nda iya, silahkan.”
“sekali lagi selamat!”
“Oke.” Sambil memberikan senyuman termanisnya ia
meninggalkanku tapi yang tidak mengenakkan ia bergandengan mesra dengan Vicky,
hatiku sempat bergetar melihat senyuman Frinda. Namun mengingat mereka begitu
romantis aku menghentikan getaran hatiku, lihat saja mereka pun memiliki
pangilan tersendiri untuk menunjukan kemesraanya. Frinda yang biasa di panggil
Nda berubah menjadi Frin, sedangkan Vicky yang dipanggil Ky berubah menjadi
Vick. Entahlah, namun ternyata dibalik sepengetahuanku........................
“Udah lah Frin kamu nggak usah pikirin dia, disini ada
aku Nda.”
“jangan panggil aku Nda Vick, hanya Dinand yang boleh
panggil aku gitu.”
“Oke-oke aku turuti mau kamu, tapi aku minta satu Frin,
aku minta kamu belajar melupakanya dan hanya mencintaiku Frin. Aku tau kamu
juga cinta ma aku tapi apa gunanya kalo kamu belum bisa lupain dia”
“iya Vick aku tau aku salah, aku udah belajar melupakan
dia tapi butuh proses vick. Maafin aku”
“Kamu nggak perlu minta maaf Frin, aku akan selalu suport
kamu.”
“makasih Vick, makasih atas semuanya. Atas kesetiaan mu
juga yang selama ini terus berada di sampingku meski perasaanku masih terbagi
bukan hanya milikmu dan untukmu.”
“Iya Frind aku ngerti kok, tenang aja.”
Ternyata dengan modal
ketampanan, kekayaan bahkan kesetiaan pun belum bisa meluluhkan hati seseorang
jika mereka belum merasakan hal nyaman.
Setelah kelulusan kita semua memiliki jalan masing-masing
untuk menuju kesuksesan, begitu juga dengan aku.
“Buk, Pak, doakan anakmu ini lancar dalam mencapai
kesuksesan di bandung.”
“Iya nak doa bapak dan ibu menyertai mu, pergilah nak.”
“Baik pak, buk aku akan berusaha sekuat mungkin untuk
membanggakan bapak dan ibuk. Aku pamit pak, buk,!” aku mencium tangan kedua
orang tuaku bahkan aku berlutut mohon doa restu. Tak lupa Dea pun menyampaikan
salam perpisahan.
“Hati-hati ya mas disana!” ucapnya
“Iya dek, aku nitip ibuk ya!” pintaku.
“Iya mas, aku bakal jagain ibuk.” Jawabnya penuh dengan
kelembutan.
Yaa mulai saat itu aku
mencari jalan baru untuk mencapai misiku menuju cita-citaku, aku yakin
bahwa bekal doa dari kedua orang tuaku
selalu menyertaiku. Tak perduli dengan mereka-mereka yang mengandalkan uang,
disana aku juga akan ikut bersaing.Dan disanalah aku memulai hal yang baru, tak
peduli rintangan apapun itu asalkan tidak bersangkutan dengan uang aku sanggup
menjalani itu.Semangat dan doa kedua orang tuaku ialah kunci keutamaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar